Gy3ZRPV8SYZ53gDjSFGpi7ej1KCaPY791pMbjB9m
Bookmark
Kalimat apa saja yang anda kehendaki (ketika tersorot oleh kursor)

Banjir Nuh di Abad 21: Catatan dari Editor “Dunia Yang Dilipat”

“Kulihat orang-orang terkuat dan terpandai. Kulihat semua potensi ini, dan kulihat itu disia-siakan. Seluruh generasi ini memompa gas, menunggu meja, atau jadi budak berdasi. Iklan membuat kita mengejar mobil dan pakaian, mengerjakan pekerjaan yang kita benci agar kita bisa membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan. Kita adalah anak-anak sejarah, tanpa tujuan atau tempat. Tak ada perang besar, tak ada depresi besar. Perang besar kita adalah perang spiritual. Depresi besar kita adalah hidup kita sendiri. Kita dibesarkan untuk percaya bahwa suatu hari kita akan jadi jutawan atau rock star, tapi sebenarnya tidak. Dan kita mempelajari fakta itu dan kita menjadi sangat marah.” Orasi singkat Tyler Durden—tokoh yang diperankan Brad Pitt dalam film Fight+ Club—dengan tepat merepresentasikan potret kegelisahan dan krisis kemanusiaan yang tampaknya sudah menjadi permasalahan yang klasik, yaitu pencarian jawaban—yang tak kunjung ditemukan—ihwal arah dan makna perjalanan hidup manusia.
Banjir Nuh di Abad 21: Catatan dari Editor “Dunia Yang Dilipat”
Kegelisahan seperti itu sangat lazim muncul pada diri setiap manusia. Hal itu berasal dari dorongan dasar psikis manusia. Suatu dorongan yang dapat digunakan untuk sesuatu yang sifatnya profan, maupun yang sifatnya spiritual. Bahwa manusia itu senantiasa terdorong untuk menilai atau mencari sesuatu yang lebih, entah itu lawan jenis yang lebih tampan atau lebih cantik, yang lebih baik atau yang lebih pengertian, yang lebih kaya atau yang lebih menggairahkan. Bisa juga pekerjaan dengan uang yang lebih banyak ataukah yang lebih menyenangkan, rumah yang lebih besar ataukah makanan yang lebih enak. Pengetahuan yang lebih rumit dan menggairahkan ataukah yang lebih baru dan lebih bergengsi, deretan gelar yang bergengsi ataukah citra kepandaian diri yang lebih prestisius. Pendek kata, dalam kehidupannya, disadari maupun tidak, manusia selalu dipenuhi oleh berbagai keinginannya kepada segala sesuatu yang lebih atau melampaui. Namun, dorongan akan sesuatu yang lebih ini pun bisa digunakan untuk sesuatu yang sifatnya lebih spiritual. Inilah landasan awal yang digunakan manusia untuk mencari sesuatu yang jauh melampaui dirinya, sesuatu yang ultima, sesuatu yang lebih berkuasa, lebih mengetahui—yang secara umum sering disebut sebagai Tuhan.
Adalah biasa apabila manusia merasa bosan, karena dalam dirinya pun ada dorongan dasar yang selalu menuntut kebaruan akibat ketidakpuasan terhadap hal yang sama. Dalam jalan yang profan, misalnya, hal ini bisa dipuaskan dalam bentuk hasrat akan komoditi-komoditi baru; sementara dalam jalan spiritual, hal ini bisa dipuaskan dalam bentuk penemuan khazanah ilahi yang senantiasa baru. Terserah pada manusia, hendak diarahkan kemanakah dorongan-dorongan dasarnya tersebut. (Dorongan dasar di sini tidaklah sama dengan insting, karena pandangan bahwa manusia memiliki insting masih harus dikritisi, sebab, pada kenyataannya, manusia bisa lepas dari instingnya, tidak seperti binatang yang justru harus menggunakan instingnya untuk bertahan hidup.)
Hasrat memang terbentuk dari rasa kurang (lack), namun hasrat terbentuk dari dua bentuk dorongan dasar yang membuat manusia jadi menginginkan sesuatu, yaitu karnal (carnal) dan libidinal. Karnal adalah hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya material, seperti lawan jenis, harta benda, atau makanan, dan segala hal material lainnya. Pembentukan karnal ini sangat bergantung kepada sifat dasar (nature) dari objek karnal itu sendiri (yaitu objek-objek material) yang “bersentuhan” dengan tubuhnya. Misalnya, apabila seseorang terbiasa dengan makanan yang sangat sederhana, maka karnalnya terhadap makanan tidak tumbuh menjadi semakin sophisticated. Namun, sekalinya dia mencicipi makanan yang jauh lebih mewah dan enak daripada yang biasa dia makan, maka karnalnya pun mulai memiliki referensi lebih dan akan mulai meng-upgrade karnal tersebut untuk menciptakan keinginan yang lebih dan rasa kekurangan.
Libido, secara umum, sering dikonotasikan dengan dorongan seksual, padahal di karya-karya terakhirnya Freud pun tidak lagi menggunakan libido dalam pengertian semata hasrat seksual, tetapi lebih kepada energi hidup secara lebih luas. Istilah libidinal tidak kami gunakan dalam definisi dan konteks psikoanalisis pada umumnya, selain juga untuk membedakan dan menghindar dari pengertian umum istilah libido tersebut. Libidinal adalah hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya imaterial, seperti citra, harga diri, kekaguman orang lain, kepandaian, dan segala hal imaterial lainnya. Dalam pembentukannya, libidinal ini lebih terarah kepada dirinya sendiri, kepada dorongan dan kepentingannya akan pemuasan sang ego—yaitu, aspek “otak” dari libidinal. Di sini, imajinasi sangat berperan penting dalam pembentukan libidinal ini, karena kepuasan libidinal sifatnya lebih imaterial, dan dalam pertumbuhannya, libidinal sangat memerlukan kehadiran yang lain sebagai apresiatornya.
Gabungan karnal dan libidinal akan membentuk hasrat, karena ketika dimanifestasikan, dalam hasrat selalu terdapat unsur karnal dan libidinal. Misalnya, hasrat untuk memiliki HP terbaru dan tercanggih (karnal) dapat membuat seseorang merasa percaya diri dan bergengsi di hadapan orang lain (libidinal), hasrat untuk memiliki pacar perempuan cantik dan seksi (karnal) dapat membuat seorang lelaki merasa bangga dalam pergaulannya (libidinal), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Karena hasrat tercipta dari rasa kurang (lack), imajinasi, dan dorongan yang senantiasa menginginkan sesuatu yang paling atau yang lebih, maka proses perubahan kebudayaan ke arah yang sifatnya lebih hipereal pun, salah satunya, dipicu juga oleh dorongan hasrat ini. Begitu pula halnya dengan proses pelipatan dan percepatan kebudayaan yang semakin lama semakin meningkat intensitasnya, sebagaimana yang digambarkan dalam buku ini.
Pelipatan dan percepatan tersebut nyaris menyerupai banjir Nuh; karena kemana pun mata diarahkan yang terlihat hanyalah air bah. Kini, banjir Nuh ini, lebih dikenal dengan istilah globalisasi. Sudah banyak dianalis oleh berbagai pemikir ihwal bagaimana globalisasi justru malah memicu revitalisme dan identitas nasional. Tak ubahnya seperti sekian banyak orang yang dimasukkan ke dalam sebuah ruangan hingga penuh sesak, yang terjadi bukanlah bagaimana mereka saling melebur, tapi malah saling menegaskan kediriannya masing-masing, membedakan dirinya dari yang lain. Namun, tampaknya ada satu fenomena globalisasi yang ingin diceritakan dalam buku ini, yaitu globalisasi hasrat yang berpacu menuju ekstremitas.
Ekstrimitas memang seringkali muncul karena obsesi manusia untuk mencapai the limit of experience, untuk senantiasa mencari kebaruan hingga titik terjauhnya. Berbeda dengan masyarakat modern—yang disebut sebagai “hot society” oleh Levi-Strauss—masyarakat tradisional atau “cold society” hidup dalam perubahan yang lambat, dalam elemen-elemen peradaban yang tidak sekompleks masyarakat modern, serta memutar siklus hidupnya dalam suatu lingkaran tradisi yang berulang dan senantiasa dijaga kesuciannya.
Namun, pandangan ihwal kelembaman masyarakat tradisional juga berbalik mengenai masyarakat modern, yang pada dasarnya juga memiliki suatu siklus tradisi yang senantiasa berulang, berupa rutinitas yang dilakukan dengan pengurasan tenaga yang intensif, baik dalam ritme linier maupun chaos, hingga mengkristal menjadi disiplin tubuh yang bersifat semakin halus, yang semakin menguasai kesadarannya. Energi manusia nyaris tercurah untuk mencapai tujuan dan hasil yang selalu terwujud dalam bentuk yang ternyata jauh dari apa yang dibayangkannya.
Jadi, sebenarnya kebaruan dan perubahan itu terjadi dalam skema fraktal: dari tingkat peradaban manusia hingga pada diri setiap individu itu sendiri. “Perubahan” adalah kata yang lebih netral untuk menggambarkan sejarah manusia, bukan “kemajuan” seperti yang umum dipakai. Kata “kemajuan” mengisyaratkan bahwa suatu masa lebih baik daripada masa yang lainnya, suatu masa lebih beradab daripada masa yang lainnya. Pikiran tersebut tidak sejalan dengan kemanusiaan itu sendiri, karena manusia, seperti yang diungkapkan Levi-Strauss, “selalu berpikir dengan kualitas yang sama juga” dan pikirannya tidaklah “berkembang” sebanyak penemuan area baru pengetahuan di mana “unchanged and unchanging power” dari pikirannya mungkin diterapkan.
Maka, kompleksitas permasalahan yang dihadapi setiap manusia di setiap zaman pada dasarnya adalah sama, sedangkan yang berbeda hanyalah manifestasinya saja. Apa yang terjadi saat ini hanyalah satu fragmen saja dari sejarah panjang umat manusia dalam kualitasnya yang sama. Dan, rasanya sudah sangat biasa ditemui orang yang berkata, “zaman sekarang sudah rusak,” “dunia mau kiamat,” atau berbagai pernyataan yang sering dituliskan oleh para pemikir, seperti akhir dari budaya, akhir dari sejarah, akhir dari sosial, akhir dari ideologi, dan berbagai akhir lainnya. Bahkan John Milton, sang Iblis dalam film “Devil’s Advocate”—yang diperankan oleh Al Pacino—juga membuat pernyataan yang bernada apokaliptik:
“Kita memperbesar appetite manusia hingga bisa meledakkan atom-atom hasratnya. Kita membangun ego hingga setinggi katedral. Tersambung ke tiap impuls di seluruh dunia. Bahkan mempengaruhi impian yang paling membosankan dengan fantasi berlapis emas, hingga tiap manusia menjadi kaisar yang hebat, menjadi menuhankan dirinya sendiri. Lalu mau apa lagi? Saat kita bergerak terburu-buru dari satu transaksi ke transaksi lain, siapa yang memikirkan lingkungan planet ini? Saat udara tercemar, air menjadi kotor, bahkan lebah madu menghisap radioaktif dan pencemaran itu berlangsung semakin cepat. Tak ada kesempatan untuk berpikir, untuk bersiap-siap. Ini memperjualbelikan masa depan, padahal tak ada masa depan. Dunia ini sudah tak terkendali, nak.
Bagaimanapun, sesuatu yang bernada apokaliptik itu masih berguna untuk membangkitkan sebuah penyadaran dan memancing cara berpikir kritis. Memang terlalu banyak masalah dalam kehidupan manusia, baik dia sebagai sosok pribadi, sebagai makhluk sosial, maupun sebagai bagian dari umat manusia. Untuk memecahkan kesemua masalah tersebut, sangatlah tidak mungkin untuk mengandalkan buku-buku yang memberikan berbagai kiat praktis; karena harus seberapa banyak buku yang dibaca untuk berbagai masalah yang berbeda? Lagi pula, kenapa harus memecahkan masalah? Bukankah masalah adalah all human’s middle name”? Berpikir kritis—sebagaimana yang dicoba digugah oleh wacana-wacana dianggap bernada apokaliptik—tak ubahnya seperti sebuah kunci yang bisa digunakan untuk membuka banyak pintu. Inilah cara yang bisa digunakan untuk menyikapi banyak masalah, bukan semata memecahkan, karena sikap yang tepat pada masalah yang tepat dengan sendirinya akan menunjukkan jalan pemecahannya. Sayangnya, berpikir kritis masih merupakan hal yang mewah di negeri ini; negeri yang masyarakatnya lebih suka ngobrol daripada membaca.


Setelah Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna dan Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, inilah buku ketiga Yasraf Amir Piliang yang diterbitkan oleh Jalasutra. Awalnya, buku ini diterbitkan oleh Mizan, dan ketika pertama kali terbit, buku ini langsung mendapat banyak sambutan serta memberikan banyak inspirasi bagi peminat cultural studies. Bahkan hingga awal tahun 1998, buku ini sudah mengalami cetak ulang hingga empat kali. Salah satu hal yang cukup mengherankan dari buku ini adalah bahwa banyak pemikir kontemporer yang diulas cukup panjang dan “cair” pemikirannya oleh Yasraf, ternyata masih nyaris “tak tersentuh” dan “tak diulas detail” oleh penulis kebudayaan lainnya.
Selain itu, untuk sekian lama buku ini menghilang dan nyaris menjadi mitos. Seringkali para peminat cultural studies yang baru mulai menapak di wilayah ini, hanya mendengar ihwal buku pertama karya Yasraf Amir Piliang yang monumental ini. Kini, buku ini lahir kembali dengan beberapa penambahan baru, antara lain bagian Prolog dan Epilog yang benar-benar baru. Hal ini, diantaranya, dilakukan agar mereka yang telah memiliki edisi pertama buku ini, masih bisa merasa mempunyai satu keunikan yang tidak ada di buku. Prolog dan Epilog baru ini pun dimaksudkan untuk membayar “hutang yang tertunda” dari Prolog dan Epilog edisi pertamanya, yaitu penjelasan tentang arti “Dunia yang Dilipat” dan isu spiritualitasnya. Selain itu, Prolog dan Epilog ini akan memperlihatkan tingkat kematangan Yasraf Amir Piliang setelah selang waktu berlalu hingga tujuh tahun kemudian.
Pembagian tulisan dalam buku ini pun diperbarui dengan empat judul bagian yang lebih sejalan dengan judul buku ini, yaitu Melipat Waktu, Melipat Ruang, Melipat Tanda, dan Melipat Budaya. Selain bagian Prolog dan Epilog, buku ini pun ditambahi dengan 13 tulisan baru yang senada dengan tujuan dari isi buku ini, yaitu Merampungkan Proyek Modernitas: Habermas, Modernitas dan Posmodernitas, Narasi Posmodernisme: Menuju Titik Balik Peradaban Modern, Hiperglobalisasi: Kritik dan Otokritik Globalisasi, Dua Wacana Globalisasi: Silang Budaya Era Global, Horror-Culture: Kebudayaan dan Kekerasan, Libidosophy: Kapitalisme, Tubuh dan Pornografi, Gender Horrography: Perempuan, Media dan Kekerasan, Merkantilisme Pengetahuan: Pendidikan Sebagai Mesin Citra Kapitalisme, Chaosmology: Order dan Disorder dalam Kebudayaan, Parodi Posmodern: Ada Sebuah Negeri, Hobi Warganya Kolusi, Posmodernisme dan Kita: Identitas dalam Dekonstruksi Kebudayaan, Menuju Kota Digital: Potret Kota, Potret Manusia, dan Wacana Kebudayaan Kontemporer: Pengaruhnya Terhadap Tata Nilai Seni Rupa.
Tak ketinggalan, bagian glosarium pun banyak ditambahi dengan entri baru. Adalah penting bagi para pembaca untuk melihat dulu bagian glosarium ini, karena dalam banyak diskusi atau seminar, Yasraf seringkali dihujani berbagai pertanyaan yang pada dasarnya muncul dari ketidakmengertian akan definisi dari berbagai terminologi yang digunakannya. Sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh Deleuze & Guattari, “People sometimes criticize us for using complicated words ‘to be trendy.’ That’s not just malicious, it’s stupid. A concept sometimes needs a new word to express it, sometimes it uses an everyday that gives it a singular sense.”
Untuk kesempatan ketiga ini kami harus mengucapkan terima kasih kepada Pak Yasraf yang senantiasa memberi dorongan dan kepercayaan kepada kami. Kepada Ahmad Baiquni, teman lama kami, yang mewakili Mizan dalam pengurusan izin peralihan hak terbit buku ini kepada Jalasutra. Tentu saja, tak lupa juga ucapan terima kasih kepada teman-teman di Mizan yang selalu berbagi pengetahuannya dengan kami, haruskah kami menyebutkan nama Anda satu per satu? Ah, terlalu banyak. Kepada Andri Martias Mawardi, teman dan boss Jalasutra, yang sama-sama kita melewati masa-masa susah dan menyebalkan. Terima kasih untuk kesempatan dan kepercayaannya untuk membangun Jalasutra kembali. Juga kepada segenap staf Redaksi Jalasutra Yogya (Ifah, Dewi, Titin, Titik, Apri) dan kru percetakan (Hendar, Yanto dan para pemain pingpong lainnya). Kepada tim Redaksi Jalasutra Bandung (Acia, Anwar, Antorio, Anton, Fenfen, Lucky, Dosal, Mas Idi Subandy Ibrahim) dan tim Redaksi Jalasutra Jakarta (Aten, Donny, Agus, dan gerombolan begadangers-nya). Kepada para pembaca, kami mengucapkan selamat bertamasya melampaui batas-batas kebudayaan.

Alfathri Adlin & Kurniasih
Editor Jalasutra